Oddly-Great

Informasi Masa Terkini

Pakar UEA: Vaksin Cacar Tawarkan 85 Persen Perlindungan terhadap Virus Monkeypox

Ahli Patologi Klinis Khusus di Rumah Sakit Burjeel di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), Dr. Gunjan Mahajan mengklaim bahwa penduduk yang telah menerima vaksin cacar akan mendapatkan perlindungan mencapai sekitar 85 persen terhadap virus cacar monyet (Monkeypox). Menurutnya, infeksi Monkeypox pada manusia jarang terjadi di luar wilayah Afrika Tengah dan Barat, di mana virus tersebut menjadi endemik pada hewan dan 'beredar di daerah berhutan lebat'. "Namun karena kasus kasus tanpa hubungan perjalanan ke Afrika muncul di beberapa negara, maka penyakit itu kini menjadi masalah yang mengkhawatirkan," kata Dr. Mahajan.

Hal yang sama pun disampaikan Konsultan Kedokteran Keluarga di Rumah Sakit Internasional Bareen di Abu Dhabi, Dr. Amaka Kate Uzu. "Karena virus Monkeypox sangat erat kaitannya dengan virus penyebab cacar, maka vaksin cacar juga dapat melindungi individu dari Monkeypox," jelas Dr. Uzu. Dikutip dari laman alarabiya, Rabu (1/6/2022), Monkeypox merupakan virus zoonosis, ini artinya dapat ditularkan dari hewan ke manusia dan berasal dari keluarga virus termasuk virus cacar yang kini telah diberantas.

Di masa lalu, vaksin dan obat obatan dikembangkan untuk mengobati dan menghilangkan cacar, dan telah diketahui mampu memberikan perlindungan terhadap virus Monkeypox. Hal ini menjadi perhatian khusus selama sebulan terakhir, karena lebih banyak kasus mulai muncul di seluruh dunia, terutama di negara negara yang selama ini tidak menjadi endemik. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Monkeypox kali pertama diidentifikasi pada manusia di Republik Demokratik Kongo pada 1970.

Sejak saat itu, sebagian besar kasus dilaporkan terjadi di pedesaan, daerah berhutan lebat di Cekungan Kongo. Wabah Monkeypox pertama di luar Afrika kemudian diidentifikasi di Amerika Serikat (AS) pada 2003 dan dikaitkan dengan anjing peliharaan yang ditempatkan bersama tikus berkantung Gambia dan dormice yang diimpor dari Ghana. Gejala virus ini pun sangat mirip dengan yang terlihat pada pasien cacar di masa lalu dan dapat mencakup demam, pembengkakan kelenjar getah bening, atau kekurangan energi, lesi, pustula, atau pembentukan vesikel pada kulit.

Dr. Mahajan menyampaikan bahwa anak anak, wanita hamil dan orang orang yang memiliki gangguan kekebalan (immunocompromised) berisiko lebih tinggi terkena infeksi Monkeypox. Saat ditanya tentang potensi virus tersebut untuk berubah menjadi pandemi, ia menilai bahwa hal itu sangat tidak mungkin, terutama jika dibandingkan dengan virus corona (Covid 19). "Tujuan penanganan kasus Monkeypox adalah untuk meningkatkan kesadaran, menginformasikan kesiapsiagaan, dan memberikan panduan untuk pengambilan tindakan segera seperti pelacakan kontak (tracing), pengobatan dan pencegahan," tegas Dr. Mahajan.

Sementara itu, Dr. Uzu menjelaskan bahwa menurut WHO, wabah Monkeypox tidak mungkin mengarah ke pandemi. Namun, penyelidikan lebih lanjut tentang kondisi kesehatan ini masih terus berlangsung. Ia menambahkan bahwa setiap virus yang menular secara cepat perlu 'diperiksa dan dikendalikan pada awal' wabah.

"UEA mengambil semua tindakan pencegahan yang diperlukan untuk memastikan kasus kesehatan ini diperiksa, dikendalikan dan dipantau secara baik," papar Dr. Uzu. Setelah 3 kasus virus tercatat di UEA pada awal pekan ini, Otoritas Kesehatan Dubai merilis surat edaran pada Senin lalu yang menguraikan bahwa profesional dan fasilitas kesehatan wajib memberitahu otoritas tentang kasus Monkeypox yang dicurigai atau dikonfirmasi. Dr. Mahajan mengatakan bahwa Monkeypox pada awalnya menyebar ke seseorang melalui hewan yang terinfeksi di daerah endemik.

"Ini dapat terjadi melalui gigitan atau cakaran maupun kontak dengan tubuh hewan atau cairan lesi. Pada manusia, sekali terinfeksi dan bergejala, mereka dapat menularkan virus ini ke orang lain melalui kontak fisik erat," kata Dr. Mahajan. Ia juga menyebut gejala seperti ruam, koreng dan cairan dari lesi kulit penderita sangat menular. "Oleh karena itu, pakaian atau tempat tidur yang terkontaminasi juga dapat menyebarkan virus. Namun, virus Monkeypox tidak menular seperti Covid 19 dan membutuhkan kontak erat yang lama untuk bisa menularkan penyakit ini," tegas Dr. Mahajan.

Menurut WHO, tingkat kematian akibat Monkeypox secara historis berkisar dari nol hingga 11 persen, namun angka ini telah terbukti jauh lebih tinggi pada kelompok anak anak. Kendati demikian, rasio kematian telah berubah dalam beberapa tahun terakhir menjadi sekitar 3 hingga 6 persen. Otoritas kesehatan Dubai pun mengimbau masyarakat untuk tidak hanya mencuci tangan selama 20 detik menggunakan sabun dan air atau pembersih berbasis alkohol saja.

Namun juga menghindari kontak dengan hewan liar baik mati maupun hidup, memasak daging secara benar dan matang, menghindari kontak dengan benda apapun yang telah bersentuhan dengan hewan yang sakit, serta menghindari kontak dengan orang yang terkena ruam atau benda apapun yang pernah kontak dengan orang sakit. "Masa inkubasi virus ini biasanya berkisar antara 7 hingga 14 hari, namun dapat diperpanjang hingga 21 hari," kata Kementerian Kesehatan UEA pada Senin lalu. Dr. Uzu mengatakan saat ini penelitian masih berlangsung dalam hal mode dan risiko infeksi Monkeypox.

"Monkeypox adalah penyakit zoonosis, sehingga kontak dengan hewan yang terinfeksi seperti tikus, tupai, atau primata dapat menyebabkan infeksi pada manusia. Virus ini masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang rusak meski tidak terlihat, saluran pernafasan atau selaput lendir. Namun demikian, Monkeypox tidak mudah menyebar diantara manusia," pungkas Dr. Uzu. Artikel ini merupakan bagian dari KG Media. Ruang aktualisasi diri perempuan untuk mencapai mimpinya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *